Minggu 28 Agustus 2016 16:59:03 WIB
tribratanewsriau. Keberadaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan boleh membakar lahan sebanyak dua hektare per kepala sering kali disalahi oleh oknum-oknum tertentu. Padahal, ketentuan dalam UU tersebut telah dijelaskan bahwa diperbolehkan untuk kearifan lokal.
"Syaratnya untuk kearifan lokal yaitu tanaman varietas lokal seperti padi, ubi dan tanaman pangan. Bukan sawit. Sawit itu tanaman dari Afrika," ungkap Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead saat terlibat dalam rapat evaluasi penanganan kebakaran lahan dan hutan (Karlahut) di posko satuan tugas (Satgas) karlahut, Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Minggu (28/8/2016).
Ia pun membeberkan bunyi Pasal 69 ayat 2 yang menyebutkan, ketentuan boleh membakar lahan dua hektare per kepala sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf H yakni sungguh-sunguh untuk kearifan lokal di daerah masing-masing.
Dikatakan Nazir, UU Nomor 32 Tahun 2009 itu pun kembali dijelaskan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
"Dalam Pasal 4 Permen LHK Nomor 10 Tahun 2010 disebutkan kembali ketentuan membakar lahan untuk varietas lokal harus melapor kepada kepala desa dan itupun tidak langsung dapat izin. Kalau curah hujan dibawah normal, dilarang membakar," tegasnya.
Berkaitan dengan hal itu, Kepala BRG ini meminta agar aparat penegakan hukum dapat menanamkan efek jera bagi pelaku pembakar lahan secara merata dan menyasar semua kalangan termasuk 'komplotan' perusahaan.
"Presiden menginstruksikan agar penegakan hukum dilakukan secara tegas, baik berupa sanksi administrasi, perdata maupun pidana. Kami berharap Polda Riau mengambil langkah tegas Hukum tersebut dan juga berlaku kepada pemilik lahan bermodal besar (perusahaan)," tutupnya. (eda)