Dir Binmas Polda Riau Kombes Pol. Dr. SUGIYONO, SH., MH.
TATA KELOLA KEBEBASAN BERESKPRESI

TATA KELOLA KEBEBASAN BERESKPRESI
Direktur Binmas Polda Riau Kombes Pol. Dr. SUGIYONO, SH., MH.
Kamis 12 November 2015 10:46:52 WIB
Tribrata News Riau - Pasca reformasi digulirkan tujuh belas tahun silam, karena kebebasan terbuka lebar ditengah kehidupan masyarakat. Publik bebas mengeskpresikan diri, bertutur, berpendapat layaknya seperti konsep ideal Negara demokrasi. Seiring   perkembangan teknologi informasi menjadi pendorong memuncaknya kebebasan berekspresi di Indoensia yang sebelumnya pernah dikekang pada masa pemerintahan orde baru. Era digital membidangi lahirnya multi platform media social yang menjadi ruang baru bagi warga untuk bergerak mengekspresikan pemikiran dengan berbagai bentuk, baik itu teks, gambar, karikatur, meme, video, suara maupun gambar dan suara yang diolah melalui teknologi fotografi dan videografi.

Tidak jarang didapati, media baru dalam konsep Mc. Quail ini, dijadikan untuk menyerang golongan, maupun kelompok tertentu dengan berbagai cara atas dasar kebebasan berpendapat baik berupa menebar kebencian, berita bohong, fitnah yang berjung kepada kerugian material sampai menghilangkan nyawa seseorang. Kalaulah implementasi kekebebasan seperti yang dianggap sebagai pemahaman kebebasan di alam demokrasi, tentunya tidak sejalan dengan konsep masyarakat madani yang menjadi impian konsep kehidupan yang ideal oleh semua golongan.

Dengan merujuk Undang-undang hukum Pidana, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, sosial dan budaya, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Internasional hak-hak Sipil dan Politik, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Bahwa persoalan mengenai ujaran kebencian (hate speech) semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional maupun internasional seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan atas Hak Asasi Manusia. Perbuatan ujaran kebencian memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia seperti yang terjadi diberbagai belahan dunia sehingga mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan dan bahakan pada tingkat yang paling mengerikan terjadinya Disintegrasi bangsa.

Tata Kelola Kebebasan Bereskpresi
Sudah dimafhum, terbitnya Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 sudah menjadi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, banyak yang mendukung dan tidak sedikit pula yang menolak ikhwal keberadaan surat Edaran tersebut.  Tapi kalau ditelisik lebih dalam, Surat Edaran tertanggal 8 Oktober tersebut,  diperuntukan kepada seluruh anggota Polri. Surat itu dimaksudkan untuk memberikan panduan bagaimana anggota kepolisian bergerak dalam mengantisipasi euforia kebebasan berekspresi di era konvergensi.

Pemahaman dan pengetahuan atas bentuk-bentuk ujaran kebencian merupakan hal yang penting dimiliki oleh personel Polri selaku aparat Negara yang  memiliki tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,  sehingga dapat diambil tindakan pencegahan sedini mungkin sebelum timbulnya tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian tersebut, sehingga tidak ada maksud lain kecuali untuk menjaga harkat dan martabat warga Negara dan mengelola dengan baik dan santun penyampaian pendapat, pandangan dan kritikan yang bersifat konstruktif di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perihal hate speech bukan masalah yang melanda Indonesia semata, dunia internasional juga sedang dilanda oleh huru - hara penebaran kebencian. Kemajuan teknologi ibaratkan pisau bermata dua,  kalau digunakan secara bijak dan bertanggung jawab akan membawa manfaat, namun sebaliknya bila digunakan untuk penyebaran kebencian terhadap kelompok tertentu, penyebaran rasa permusuhan, penyebaran berita bohong, dan penghasutan, fitnah bentuk lainnya akan bisa melukai sang user sendiri, inilah gejalah kebebasan ditengah era konvergensi. Sekali lagi, gejala inilah yang direspon oleh Kapolri melalui Surat Edaran.

Jauh sebelum SE ini lahir, KUHP maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sudah mengatur ada ancaman pidana dibalik kebebasan berkespresi.

Kalau kita lihat KUHP, Pasal 157 (1) berbunyi: "Barang siapa menyiarkan,  mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di  muka umum,  yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan  di  antara atau terhadap golongan - golongan rakyat  Indonesia,  dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara  paling  lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". Disokong oleh pasal 310 dan 311 KUHP dan ditambah lagi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan UU  Nomor  40  Tahun  2008  tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Ruang Lingkup dan Media
Perkara hate speech yang termaktub dalam SE tersebut terdiri dari penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi,  menghasut, menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Bentuk ujaran kebencian diatas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan,  ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Adapun media yang dipergunakan untuk menyulut ujaran kebencian tersebut bisa dalam orasi kegiatan kampanye,spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak atau elektronik, dan pamflet.

Profesionalitas Aparat
Perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa.
Maka smart action yang harus dilakukan oleh aparat yang terdiri dari:
Pertama,  setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.
Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Keempat, setiap personel Polri melaporkan kepimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

Langkah Preventif
Selanjutnya, apabila aparat kepolisian menemukan potensi yang mengarah kepada tindak pidana ujaran kebencian, maka polisi wajib :
Pertama, memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat.
Kedua, Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian,
Ketiga, mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian,
Keempat, mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat :
Kelima, jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan aturan dan UU yang berlaku.
Kalau kita lihat alur dari SE tersebut jelas bahwa kehadirannya bukanlah untuk mengamputasi kebebasan bereskpresi dan berpendapat melainkan untuk menjaga harkat dan martabat masyarakat di ranah digital dan ranah public.

Sikap Masyarakat

Benih-benih ujaran kebencian kalau tidak dikelola secara professional dan bijak akan menabur bibit-bibit disintegrasi bangsa yang akan kita tuai dimasa yang akan datang. Aparat dan masyarakat harus berpangku tangan untuk mencegah perpecahan dalam bungkusan bhinneka tunggal ika.

Maka disini sifat public dalam menghadapi ancaman hate speech adalah: 
Pertama, kita tidak bisa menafikan bahwa rasa suka-tidak suka, senang-benci sudah menjadi sunnatullah yang semuanya itu ada potensinya pada diri setiap orang  sehingga tidak bisa dibuang melainkan harus kita kelola dengan baik dan bijak dengan cara merujuk kepada konsep keagamaan dan keyakinan kita sebagai masyarakat yang beragama dan berketuhanan.
Kedua, suatu hal yang wajar jika ada kekhwatiran public bahwa munculnya SE tersebut bisa berimbas pada pengekangan kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat yang notabenenya Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang dijamin konstitusi, maka kewajibannya masyarakat adalah mengawasi kinerja kepolisian dengan cara aktif memberikan masukan lembaga abdi Negara tersebut.
Ketiga, Penyebaran ekspresi kebencian atau permusuhan perlu dikelola dengan baik dan profesional, terlebih lagi pada era masyarakat yang belum sepenuhnya mumpuni memahami demokrasi dan perbedaan. Wallahu'alamubissowab.

Penulis :

Kombes Pol. Dr. SUGIYONO, SH., MH.
Direktur Binmas Polda Riau

Hp. 0811455989
Scroll to top